Melepas Jerat Kemelaratan

Oleh: Ryana Wahadi




Sejatinya, tidak ada satu orang pun ibu yang tega meninggalkan anak-anaknya untuk pergi jauh hanya demi sebuah tanggung jawab. Tapi apa dayaku,  hanya seorang ibu beranak tiga yang tanpa titel. Menyandang status janda, menjadi tulang punggung untuk anak-anak dan bukan tulang rusuk dari seorang suami. 


"Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, Marni. Baiknya kamu pikirkan lagi keputusan itu!" Suara lantang seorang perempuan yang telah melahirkan aku hingga saat ini masih terngiang jelas di telinga.


"Mamak juga tahu, 'kan? Kalau aku diam di rumah, lalu siapa yang akan membiayai pengobatan Wulan? Siapa juga yang akan membayar hutang-hutang kita di Bank?" Sanggahku.


"Rezeki itu pasti ada di setiap langkah menuju asa, Mar. Yang terpenting adalah niat, usaha dan doa," lirih Mamak.


"Aku tahu, Mak. Tapi penghasilan di kampung tidak bisa menutup semua kebutuhan anak-anak, belum lagi hutang di Bank juga harus dibayar. Kalau tidak, rumah kita akan disita," tegasku. 


"Doakan saja yang terbaik untuk kita dan anak-anak, Mak. Aku sayang kalian." Lanjutku.


Kemiskinan telah merenggut paksa kebersamaan, kebahagiaan di tengah-tengah keluarga seketika lebur. Hanya tinggal asa yang setiap saat aku langitkan ketika berbisik pada bumi. 


Selama ini aku selalu berpikir, aku tinggal di bumi yang kata banyak orang bahwa bumi kita ini gemah ripah loh jinawi. Tapi, kenyataanya tidak seperti apa yang selama ini ada dalam pikiranku. Buktinya, untuk biaya pengobatan pun aku harus rela menggadaikan sertifikat rumah yang selama ini menjadi surgaku untuk bergurau dengan anak-anak. 


"Ah, tapi picik sekali jika aku harus berpikiran seperti itu. Bukankah ini takdir yang harus dinikmati?" Gumamku dalam hati. 


Berat kaki melangkah, tapi semua demi memerdekakan nasib mereka. Melepaskan mereka dari jerat kemelaratan. Sebab, akulah tulang punggung mereka. Negeri Formosa menjadi tujuanku, menandatangani surat perjanjian tiga tahun kontrak kerja.


"Marni, selalu ingat pesan Mamak! Jangan boros dan ingat tujuan awal kamu pergi," ujar Mamak.


"Baik, Mak. Aku titip anak-anak." Aku mendekap erat tubuh Mamak.


Kini, dua tahun sudah aku memenjarakan diri dalam kerinduan di Negeri Formosa ini. Tapi, aku telah berhasil melepaskan mereka dari jerat hutang. Meski keadaannya tak sama dengan apa yang menjadi pengharapan, satu raga yang sedang aku perjuangkan telah meninggalkan aku untuk selama-lamanya dan kembali kepada Tuhan Yang Maha Hidup. Ya, takdir memang senikmat ini. Ketika aku berhasil memerdekakan dan mensejahterakan hidup mereka, justeru Tuhan telah berkehendak lain. 


"Please be patient, Marni! You're daughter is already happy in heaven." Ucap majikan perempuan ketika aku terduduk lemas mendengar kabar kematian Down Syndrome anakku.


"But, why is it this fast? God also knows i'am fighting for his recovery." Jawabku dalam isak tangis.


Perjuangan selalu saja ada kerikilnya, tapi setidaknya aku telah berhasil membayar hutang-hutang di Bank. Kesejahteraan yang sesungguhnya adalah ketika hidup tidak terlibat dalam hutang. Sepenggal kisah ini akan selalu menjadi sejarah dalam hidupku, perjuangan yang tak sia-sia meski pada akhirnya harus kehilangan satu nyawa yang sedang aku perjuangkan. Aku pun percaya dia selalu mendoakan dan melihatku dengan senyum kebahagiaan dari surga.


"Terima kasih, Tuhan. Atas segala anugerah yang telah Engkau beri untukku dan keluarga."



Taichung, 8 Januari 2021


Komentar

Postingan Populer