Perempuan Penggugat

Oleh: Riana


Sejatinya, tidak ada satu orangpun perempuan yang bergelar seorang istri menginginkan sebuah kehancuran dalam rumah tangganya. Terlebih jika sudah ada anak. Mungkin untuk membayangkan sebelumnya saja tidak pernah. Tapi, jalan takdir manusia memang siapa yang tahu? Melainkan Allah swt yang tahu dan berkehendak atas segala takdir manusia; lahir, rezeki, jodoh dan maut. 


Adalah aku seorang perempuan penggugat cerai. Bertahun bertahan dan teronggok dalam neraka yang jelas-jelas telah suamiku ciptakan. Penghianatan menjadi mahar atas segala pengabdian dan kesetiaanku sebagai seorang istri, gumpalan hinaan kerap aku terima darinya. Bahkan tak jarang dia melayangkan tangan ke atas diri ini jika emosinya tengah membara.


Dalam Agama Islam memang perceraian bukanlah jalan terbaik untuk menyikapi segala problema hidup berumah tangga, bahkan Islam sangat membenci perceraian. Tapi setiap manusia punya hak untuk memutuskan dan mengambil jalan mana yang menurutnya itu adalah jalan terbaik. Dulu, aku selalu dihantui rasa takut jika aku benar-benar menjadi seorang janda dan harus berjuang sendiri menghidupi ketiga anakku.


Hingga aku benar-benar sanggup lepas dari jerat yang mematikan, aku terlepas dari seutas tali tak kasat mata yang selama ini menggantungku tanpa ampun. Tidak adanya nafkah, baik nafkah lahir dan nafkah batin yang semestinya menjadi hakku dan anak-anak. Keraguan demi keraguan telah menyelimuti hari-hari, hingga suatu ketika aku mengunjungi seorang kawan yang kebetulan beliau adalah seorang Ustadz lulusan pondok ternama di Jawa Timur. Hampir tiap hari aku bertukar pikir dengannya juga dengan istri beliau yang seorang guru Agama di sebuah sekolah menengah pertama di kampungku. Dan mereka menyarankan aku untuk shalat Istikharah dan shalat Hajat, meminta petunjuk yang terbaik kepada Allah swt. Bergulirnya waktu, aku telah pun memantapkan hati dengan keputusan yang akan aku ambil nanti. Yaitu perceraian.


Gelar janda kini telah aku sandang, gunjingan demi gunjingan pun mewarnai liku hidupku. Tentang rezeki, aku yakin bahwa anak-anak adalah sumber rezeki untukku. Kemana kaki ini melangkah, semoga di situ pula ada sumber rezeki tak terduga untuk anak-anakku. Dan tentang jodoh, jika Allah tidak menjodohkan aku dengan manusia, bisa jadi jodoh kekalku adalah kematian. Sebab, kematian adalah sebuah kepastian. Bukan begitu soal hidup dan mati manusia? Seperti apa yang selalu aku dengar dan aku baca, dan itu pun sudah tersirat dalam kitab suci Al-Qur'an.

Bahwa: "Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati." (QS. Ali 'Imran: 185).



Taichung, 18 November 2020



Naskah ini telah dimuat di Majalah Hadila edisi bulan Oktober 2020. 





Komentar

Postingan Populer