Jan, Seorang Budak Seks
Oleh: Riana


Jan hanya bisa pasrah dengan keadaan, terpisah dari ayahnya. Jan dibawa ke kamp Ambarawa bersama ibu dan kedua saudara perempuannya pada ketika Jepang menyerbu Pulau Jawa pada 1 Maret 1942 yakni pada saat Jan berusia 19 tahun.  Militer Belanda yang biasanya hebat dalam bertempur, tapi tidak mampu melawan Kekaisaran Jepang yang begitu dahsyat sehingga akhirnya Belanda menyerah kalah pada tanggal 8 Maret.

"Moeder, bagaimana keadaan vader?" tanya Jan pada ibunya. 

Mereka harus terpisah, kamp perempuan sendiri dan hanya dihuni oleh perempuan dan anak-anak. Anak-anak laki-laki juga hanya yang dibawah usia 11 tahun. Kamp laki-laki terpisah jauh dari kamp perempuan.

Banyak orangtua yang harus rela kehilangan anak laki-lakinya, bahkan yang lebih menyayat hati adalah ketika melihat seorang perempuan yang tengah hamil besar dan melahirkan di kamp dengan keadaan yang benar-benar memprihatinkan, juga tanpa fasilitas medis yang layak. 

Masa-masa kebahagiaan Jan bersama keluarga telah hilang, bahkan Jan tidak pernah tahu kapan akan kembali berkumpul dengan keluarganya. 

***

"Hmmm … cantik juga." Ucap seorang tentara militer Jepang dengan membelai lembut wajah Jan.

"Angkut!" lanjutnya memberi aba-aba kepada militer lainnya.

Jan meronta, menangis dan berteriak memohon agar tidak dipisahkan dari Ibu dan kedua adik perempuannya. Namun, militer Jepang tidak menghiraukan Jan. Mereka kemudian kembali memilih gadis-gadis Belanda lainnya. 

Pada awal Februari 1944 ketika Jan berusia 21 tahun, ia diambil paksa  dari kamp kemudian dikirim ke sebuah rumah bordil. Ya, Jan dipaksa menjadi seorang pelacur, menjadi budak seks untuk memuaskan nafsu para tentara Jepang. Bahkan kerap kali Jan mendapat kekerasan, baik fisik maupun kekerasan seksual. 

"Lies, apakah kamu perlukan bantuan?" tanya Jan pada seorang perempuan yang tengah terbaring tak berdaya di atas ranjang. 

Lies adalah gadis Belanda berusia 22 tahun, sama dengan Jan yakni diambil paksa dari ibunya. Lies menderita penyakit kelamin, badannya yang semakin kurus. Tinggal di sebuah kamar yang lembab dengan bertumpuk pakaian yang bertumpuk serta bau amis dan penuh darah karena Lies juga mengalami pendarahan hebat ketika ia dipaksa melayani 40 orang tentara Jepang dalam satu hari.

"Apakah benar kamu akan membantuku, Jan?" tanya Lies.

"Iya, tentu saja. Bukankah hari ini adalah hari ulang tahunmu, Lies? Bagaimana jika aku membantu mencucikan pakaianmu sebagai hadiah ulang tahun?" 

"Benarkah kamu mau, Jan? Sungguh kamu adalah perempuan hebat, Jan. Terima kasih dan jika aku mati sebelum bertemu kembali dengan ibuku, tolong sampaikan permintaan maaf dan rindu untuknya." Luruh air mata Lies, nyata tergambar penderitaan yang telah menggerogoti tubuhnya.

Jan kemudian mengambil tumpukan pakaian kotor yang berbau amis dan penuh darah itu. Hanya dengan inilah Jan merasa menjadi manusia yang berguna untuk orang lain.

***

Tiga bulan sudah Jan menjadi budak seks di rumah bordil tentara Jepang, entah sudah berapa ratus orang yang telah menggaulinya. Jan merasa dirinya sangat kotor.

 Pada bulan Juni 1944 Jan tiba di Bogor,  kembali berkumpul dengan ibu dan kedua adik perempuannya. Meski begitu, Jan tidak berani mengungkap semua apa yang dialami selama tinggal di rumah bordil. Perasaan malu  yang sangat luar biasa terhadap keluarga dan teman-teman dan tidak berharga yang begitu besar dengan apa yang telah berlaku dalam hidupnya.

Di Bogor, kehidupan Jan dan keluarga mulai berangsur membaik meskipun tidak sempurna. Setidaknya, Jan bisa berkumpul dengan keluarganya, kembali dipertemukan dengan ayahnya yang sekarang jauh berbeda, yang semakin kurus dan sering sakit-sakitan.

Hingga suatu saat Jan bertemu dengan Tom, seorang tentara Inggris. 

"Bukankah kamu tahu bagaimana masa lalu aku, Tom?" tanya Jan.

"Aku tahu, dan aku tidak ingin mempermasalahkan semua itu. Karena itu bukan murni keinginanmu, Jan." 

"Tapi aku kotor, Tom. Sudah banyak sekali tubuh laki-laki yang telah menggauliku, sudah berapa ratus tangan yang telah menjamahku. Apakah kamu tidak menyesal di kemudian hari?" sanggah Jan pada perasaan Tom.

"Sudah aku katakan bahwa aku tidak akan pernah menyesal, Jan. Bagiku, kamu adalah perempuan sempurna tanpa masa lalu yang hitam." Tom terus meyakinkan Jan.

 Jan akhirnya mulai tertarik dengan keseriusan Tom. Pada hari natal 1945, di markas tentara Inggris dengan diiringi sebuah lagu I'll be loving you always yang dibawakan oleh sebuah band Indonesia. Tom melamar Jan, mengeluarkan cincin dan melingkarkan di jari manis Jan. 

Mereka melewati masa-masa pacaran yang indah. Dengan kedewasaan dan wibawanya, Tom tidak pernah sekali saja mengungkit apa yang pernah dialami Jan, karena yang Tom tahu bahwa Jan adalah seorang korban perkosaan yang selamat.

Hingga kemudian mereka menikah di suatu Gereja Katolik st. Mary di Walsall pada tanggal 14 Agustus 1946. Pernikahan yang sangat sederhana. 

"Aku rindu untuk menimang anak, Tom." Tom kian erat mendekap tubuh Jan.

"Sabar saja, pasti kita akan segera menimang anak." 

Jan berpikir bahwa apa yang berlaku dalam hidupnya adalah hasil dari apa yang pernah dialami. Peperangan memang telah berlalu, tapi tidak dengan peperangan batinnya. Berapa kali Jan mengalami keguguran, karena tentan tubuhnya. Juga mungkin karena rahimnya bermasalah semenjak ia menjadi budak seks. 

Perkosaan dalam perang digunakan sebagai senjata dan sarana genosida, bahkan sampai hari ini masih berlangsung. Perkosaan tidak lagi dipandang sebagai konsekuensi  perang yang tak terelakkan atau 'imbalan' bagi para tentara. Namun saat ini dianggap sebagai kejahatan perang dan demikian diakui oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Jan berkata bahwa ; "Akan ada saatnya aku mengungkap segala kejahatan dalam perang. Agar tidak lagi menggunakan perkosaan terhadap perempuan sebagai senjata atau sebagai imbalan." 

Hingga pada akhirnya Jan diundang bersama Rev. Dr. Phillip Tolliday, seorang pendeta Anglikan, untuk berbicara pada Konferensi Internasional tentang 'Grief and Bereavement in Contemporary Society'. Konferensi yang berlangsung di Yerusalem. Phillip Tolliday telah memperkenalkan dirinya pada Jan tahun 1994 setelah menyaksikan film dokumenter 50 years of silence di Adelaide.

Penderitaan batin yang selama 50 tahun telah Jan simpan, kini telah terbuka di mata publik. Jan memilih untuk mencurahkan kebiadaban tentara Jepang ketika perang melalui tulisan. 

Taichung, 2 Januari 2020

Komentar

Postingan Populer